Just another love story...

~ Minggu, 16 Mei 2010
telah separoh hari rombongan itu berjalan. Menyusuri jalan setapak sepanjang alas Tegal Arum. Dan sepertinya baru tengah malam nanti mereka akan sampai di padukuhan Karangjati. Nampak 4 orang berjalan beriringan. Di depan seorang bernama Jahasena, sedangkan di belakang seorang bernama Arya Gading, mereka adalah pemuda pedukuhan Tegal Arum. Diantara keduanya berjalan beriringan seorang gadis dan seorang pemuda. Mereka adalah Rara Lintar dan Raden Teja. Keduanya adalah anak bangsawan seperguruan dari Kotaraja yang sedang ditugaskan ke pedukuhan. Sedangkan kedua pemuda tadi sebenarnyalah diperintahkan untuk menemani perjalanan kedua bangsawan tersebut.
Matahari sudah lebih dari sepenggalah, namun karena jalan yang mereka lewati berada di tepian hutan Jati, maka panas yang menyengat tidaklah begitu terasa. Malah sesekali hembusan angin menerpa walaupun sesaat hilang diantara rimbunnya belukar. Sepanjang perjalanan Rara Lintar dan Raden Teja tampak akrab bersenda gurau. Entah apa yang mereka perbincangkan, namun keduanya sangat begitu menikmati. Bahkan dari gelagat tubuhnya, nyatalah mereka seperti sepasang kekasih. Mereka seolah tidak memperhatikan keadaan sekitar. Bahkan ketika Arya Gading yang selalu memperhatikan keduanya. Sebelumnya, semenjak kedatangan kedua anak bangsawan itu di pedukuhan Tegal Arum, Arya Gading memang sepertinya menaruh hati kepada Rara Lintar. Tetapi seperti biasanya, jiwanya yang terkungkung dalam jiwa pemuda desa, hanya bisa menyembunyikan perasaannya itu, apalagi rasa yang ia rasakan tertuju pada seorang gadis bangsawan, yang status sosialnya jauh di atasnya. Dan begitulah Arya Gading.
Beberapa bulak sawah telah dilalui. Terkadang mereka berpapasan dengan penduduk setempat yang mencari kayu bakar. Tetapi daripada itu, pandangan Arya Gading tidak pernah lepas dari 2 orang di hadapannya.. meski sesekali ditundukannya pandangan kebawah, disertai helaian napas panjang. Dalam benaknya, seandainya ia menjadi sosok Raden Teja, tentu akan sangat berbeda rasanya. Ia akan selalu punya banyak kesempatan untuk bersama Rara Lintar. “Kakang, bisakah kita istirahat sejenak?“. Suara itu membuyarkan lamunan Arya Gading. Dan ternyatalah Rara Lintar telah berhenti dihadapannya. Sebentar Arya Gading tertegun memandang wajah Rara Lintar yang menanti jawaban. Sangatlah jarang mereka bertemu pandang seperti itu, meskipun telah lebih dari sebulan Rara Lintar bertamu di pedukuhan Tegal Arum. Serta merta jantung Arya Gading berdegub kencang. “iya, tampaknya Rara Lintar telah kecapekan, kita istirahat barang sebentar“. Berkata Raden Teja. Arya. Gading pun mengangguk kecil. “baiklah Raden“. Seketika itu Jahasena telah berbaring di rerumputan. Sedangkan Raden Teja dan Rara Lintar lebih memilih duduk di bebatuan seberang jalan. “bukannya lebih baik kau bagikan dulu bekal kepada mereka?“. Arya Gading menegur Jahasena. “tidaklah kau lihat Gading, aku telah menemukan tempat yang nyaman, sementara kau masih berdiri, baiknya kau saja yang bagikan“. “ternyata sifat malasmu belum juga berubah Sena“. Jahasena pun hanya tertawa, sembari menutup matanya dengan kain ikat kepalanya. Arya Gading mengambil buntalan bekal yang dibawa Jahasena, dibuka dan diambilnya beberapa tempel nasi yang dibungkus daun jati, dan juga sebuah kendil kecil berisi air minum. Dihampirinya Raden Teja dan Rara Lintar. “Raden, ini ada beberapa tempel nasi dan wedang, cukup untuk mengganjal perut,silahkan“. “nasikah saja?tanpa lauk?“. “ada sayur daun talas Raden“. “ah, makanan apa itu, aku tak suka, kemarikan saja kendil itu“. Arya Gading pun memberikan kendil tersebut. “aku mau kakang“. Tiba-tiba Rara Lintar menyahut. Sekilas nampak oleh Arya Gading senyuman gadis bangsawan itu. Serta merta disodorkannya tempelan nasi di tangannya. “hati-hati Lintar, nanti perutmu sakit, kau tidak terbiasa makan makanan seperti itu“. “tak apalah kakang Teja, makanan ini sepertinya enak“. “maaf, makanan di pedukuhan memang hanya seperti ini“. Arya Gading menyela. “kakang Gading tidak makan?“. “saya nanti makan disana bersama Jahasena..Rara“. “tapi bukankah temanmu itu tertidur?makanlah disini menemaniku..“. Sesaat Arya Gading termangu. Sikap Rara Lintar seolah tidak mempersoalkan derajatnya, dan itu membuatnya semakin kagum. Sunggguh berbeda dengan Raden Teja. Tetapi dalam pada itu, ia menjadi bimbang, apakah ia harus mengiyakan ajakan itu. “marilah kakang, duduklah“. Akhirnya Arya Gading mengiyakan. “baiklah Rara, tetapi maafkanlah jika saya lancang“. “janganlah terlalu kau fikirkan“. Rara Lintar pun beringsut, memberi tempat kepada Arya Gading. Dan sebenarnyalah, perasaan Arya Gading pun menjadi tidak karuan. Ia belum pernah sedekat ini dengan Rara Lintar. Tanpa disadarinya pun tangannya gemetar membuka tempelan nasi yang ada di tangannya. Keduanya pun menikmati makanan mereka. Dan beberapa waktu berlalu... “kakang Gading orangnya pendiam ya“. Rara Lintar memecah keheningan. Setelah itu terdengar tawanya lirih. Sungguh Arya Gading hanya tertunduk sambil tersenyum. “sudah berapa lama kakang tinggal di pedukuhan Tegal Arum?“. “saya lahir dan besar disini Rara, jadi semenjak kecil saya sudah berada disini“. “sungguh keadaan disini masih alami kakang, tidak seperti di Kotaraja, yang penuh hiruk-pikuk”. “beginilah kehidupan di pedukuhan Rara, masih sangat sederhana”. “tetapi aku suka kakang, apalagi orang-orangnya ramah-ramah, saling menghormati satu sama lain, sesuatu yang sulit dijumpai di Kotaraja, ya seperti kakang Gading ini salah satu contohnya”. “saya merasa tersanjung Rara, tetapi itu berlebihan, saya hanya pemuda desa biasa, sama seperti lainnya”. “ah, kakang terlalu merendah”. Dan demikianlah, perbincangan mereka berhenti. Arya Gading pun perlahan mulai nyaman dengan keadaannya. Itupun karena Rara Lintar memperlakukannya seperti seorang teman, bukan seperti majikan dan batur. Ia pun sesekali memberanikan diri menoleh ke arah Rara Lintar, walaupun cepat-cepat ia menunduk kembali. Dan justru suatu ketika disaat pandangan mereka bertemu, Arya Gading merasakan getaran hebat dalam dadanya. Apalagi senyuman tipis selalu menghiasi paras ayu Rara Lintar. Berdegub jantung Arya Gading setiap kali melihat senyuman itu. Dalam benaknya, seandainya getaran ini juga dirasakan gadis itu, tentu akan sangat luar biasa. Tetapi cepat-cepat Arya Gading menepisnya. Mana mungkin Rara Lintar suka padanya. Rara Lintar memang selalu bersikap manis dan bersahabat, tetapi ia bersikap seperti itu kepada siapa saja. Tak nampak oleh Arya Gading sesuatu yang khusus yang Rara Lintar tunjukan kepadanya. Seandainya pun ada, justru ia melihat itu tertuju kepada Raden Teja. Arya Gading pun menghela nafas. Ia mulai bisa menguasai diri. Dia sadar penuh siapa dirinya. Walaupun tiba-tiba sesuatu bisikan mengisi benaknya ---tetapi bukan sesuatu kesalahan menyukai seorang gadis, tidak peduli derajat pangkat dan status sosial. Kau seorang laki-laki, maka bersikaplah seperti seorang laki-laki---- Arya gading pun terhenyak, dipandangnya wajah Rara Lintar yang sedang menikmati tempelan nasi di tangannya. Ditundukan kepalanya, dihela nafasnya. Dalam benaknya, “aku harus lebih berani,paling tidak untuk sekedar bertanya…”. Maka sejenak Arya Gading pun menyiapkan beberapa pertanyaan kepada Rara Lintar. Di tata nafasnya, dan ia bersiap memulai percakapan lagi. “eee..“. Baru saja sepenggal kata belum terucap dari mulut Arya Gading, tiba-tiba Rara Lintar beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Raden Teja. “kakang, nasi ini enak, rugi kakang tidak mencicipi, apa perlu aku suapi?“. Terdengar tawa kecil Rara Lintar. Arya Gading masih termangu, mulutnya pun belum pula terkatup. Justru hela nafasnya yang kemudian memudar. Bahkan kemudian terdengar sayup tawa cekikikan dari seberang. Ternyata Jahasena telah memperhatikan polah tingkah Arya Gading sedari tadi. Wajah Arya Gading menjadi merah. Diambilnya batu kerikil di depannya dan dilemparkan kearah Jahasena. Tetapi nyatanyalah tawa Jahasena malah semakin keras….”aku tak suka makanan desa Lintar,sudahlah… Heii kau,…mari kita lanjutkan perjalanan”. Raden Teja berkata. Arya gading menoleh, ditatapnya Raden Teja dengan Tajam, tetapi kemudian ia menjawab “baiklah Raden, kita lanjutkan perjalanan”. Maka kemudian ke empat orang tersebut beranjak dan kembali menyusuri jalan setapak itu….(seharusnya bersambung….)

0 komentar:

Posting Komentar